Trauma dan Kemiskinan: Bayang-bayang Keluarga Korban Femisida

*Peringatan pemicu: Gambaran kekerasan dan femisida.
“Pembunuh bangsat!”
Teriakan “Sukarsih” membelah ruang sidang. Amarahnya meledak saat menatap wajah Arif—mantan kekasih anaknya, “Wardani”—yang kini jadi terdakwa pembunuhan. Emosi Sukarsih tumpah. Laki-laki yang cukup ia kenal itu berdiri tenang seolah tak punya beban. Tidak ada penyesalan, apalagi permintaan maaf atas hilangnya nyawa putri satu-satunya.
Wardani dibunuh awal 2024. Ia seharusnya pulang kampung untuk merayakan Lebaran, seperti biasanya. Sebagai perantau dan tulang punggung keluarga, ia rutin mengirim uang dan pulang setahun sekali. Namun kali ini berbeda. Wardani pulang dalam peti mati.
Arif membunuh Wardani karena cemburu—ia tahu mantan kekasihnya itu dekat dengan pria lain. Dengan dalih mengajak jalan-jalan malam hari, Arif menyetir mobil berdua. Saat Wardani tertidur, ia melilitkan tali rafia ke lehernya hingga tewas kehabisan napas. Jasad Wardani lalu dibuang begitu saja.
Kematian Wardani diketahui pukul 11 siang. Dua jam sebelumnya, polisi datang ke rumah Sukarsih dan suaminya, Agus, saat mereka sedang di sawah. Saat itu, polisi hanya meminta klarifikasi: Apakah benar mereka orang tua Wardani. Tanpa penjelasan lebih lanjut, polisi pergi. Tak lama kemudian, tetangga-tetangga datang dengan kabar dari media sosial: Jasad perempuan ditemukan di jalan, ada bekas jerat di lehernya.
“Ya itulah (rasanya seperti) orang bangun tidur ditampar begitu. Saya (lalu) minta adik saya untuk cross check apa betul (berita itu), ternyata betul,” kenang Sukarsih.

Baca juga: Sederhana, tapi Media Masih Tak Adil pada Korban Femisida: Temuan Magdalene
Alarm Bahaya Femisida
Kematian Wardani hanyalah satu dari ratusan kasus femisida yang makin sering terjadi di Indonesia. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, 2024 menjadi tahun kedua dengan angka femisida tertinggi dalam lima tahun terakhir. Tercatat ada 290 kasus antara 2023-2024, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 159. Puncaknya terjadi pada periode Juni 2021–Juni 2022 dengan 307 kasus.
Organisasi masyarakat sipil pun ikut turun tangan. Jakarta Feminist, misalnya, mencatat ada 187 korban femisida sepanjang 2023. Artinya, satu perempuan dibunuh setiap dua hari.
Mayoritas pelaku adalah orang terdekat. Temuan Jakarta Feminist menunjukkan, setengah dari korban dibunuh oleh pasangan, keluarga laki-laki, atau kenalan dekat. Sebanyak 81 perempuan dibunuh di rumah sendiri—tempat yang seharusnya paling aman.
“Linda” adalah salah satu dari mereka. Ia tewas ditusuk berulang kali oleh pacarnya, hanya karena sang pacar cemburu melihat Linda video call dengan pria lain. Dalwa Tajul Arfah dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung) yang mendampingi kasus ini menjelaskan, motifnya sangat jelas: Kekuasaan dan kontrol atas tubuh dan relasi korban.
Kekerasan Berlapis Sebelum Femisida
Femisida tidak pernah terjadi tiba-tiba. Ia biasanya diawali kekerasan lain yang berlangsung lama. United Nations Office on Drugs and Crime bersama dengan UN Women menjelaskan, femisida didorong faktor-faktor mendasar seperti norma-norma sosial tentang maskulinitas, kebutuhan untuk menegaskan kontrol atau kekuasaan laki-laki, menegakkan peran gender, atau menghukum perempuan atas tindakan yang tidak sesuai norma budaya patriarki.
Karena didorong oleh faktor-faktor tersebut, UN Women bilang, femisida sering kali merupakan hasil dari bentuk-bentuk kekerasan sebelumnya yang dilakukan terhadap perempuan.
Wardani, misalnya, kerap menjadi korban kekerasan verbal dan ekonomi. Arif sering memaki Wardani bahkan di depan umum. Tak jarang, Sukarsih dan Agus, suaminya, ikut jadi saksi makian itu.

“‘Jancuk!’ kaya gitu (ngomongnya). Pas saya tanya, kalau di rumah berantem kaya gini? (Dia bilang) ‘Biasa, Mak ra padu ra marem’. Kalau enggak berantem enggak marem (puas). Pribahasa dari mana kata saya,” ujar Sukarsih.
Arif juga memeras Wardani secara ekonomi. Ia kecanduan judi slot dan terjerat pinjaman online. Uang yang diminta berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp500 ribu, dan tak pernah dikembalikan. Ketika Wardani tak punya, Arif memaksanya meminjam ke teman.
Linda mengalami kekerasan serupa—bahkan lebih parah. Menurut Dalwa, ia hidup dalam hubungan toksik dan sering mengirim pesan panik ke teman-temannya, meminta tolong.
“‘Tolongin gue. Gue kayaknya mau dibunuh. Tolongin gue, gue tertekan udah enggak kuat’, itu (korban) minta tolong ke beberapa orang,” kata Dalwa.
Linda juga diancam dengan penyebaran video intim tanpa persetujuannya, bentuk kekerasan berbasis gender online (KBGO). Selain itu, pacarnya juga menguras uang dan harta benda Linda. Tabungan Rp20 juta raib, dan beberapa hari kemudian, pelaku membeli motor baru. Linda sendiri saat itu sedang jadi satu-satunya pencari nafkah.
Baca juga: Di Balik Dapur Berita Femisida: Jurnalis Kurang Pelatihan dan Minim Empati
Ketersinggungan Maskulinitas yang Membunuh
Mengapa laki-laki bisa melakukan kekerasan sedemikian ekstrem? Jawabannya ada pada struktur sosial yang membentuk mereka. Paul Daley dalam The Guardian menulis, laki-laki dikondisikan untuk menggunakan kekerasan terhadap perempuan. Mereka diajari bahwa dominasi adalah bagian dari maskulinitas.
Elizabeth Kristi Poerwandari, pendiri Yayasan Pulih dan dosen Kajian Gender UI, menambahkan, konstruksi gender menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Relasi yang timpang ini membuat kekerasan dianggap wajar, bahkan sah.
“Berbagai hal itu bagaimana pun akan mematri, bahwa mereka itu lebih tinggi posisinya, lebih berhak melakukan sesuatu (kekerasan terhadap perempuan),” ujarnya.
Konstruksi ini juga jadi bagian dari identitas internal laki-laki. Bagi yang memiliki maskulinitas rapuh, sedikit saja merasa diremehkan atau ditolak, bisa memantik ledakan kekerasan.
“Ketika bisa satu sisi dia udah melihat perempuan itu lebih rendah, di sisi lain dia merasa ‘wah gue dihina nih’… Nah itu tuh sangat mudah (melakukan kekerasan),” jelas Kristi.
Pernyataan ini sejalan dengan temuan para ahli yang melakukan riset terhadap pelaku kekerasan di program perubahan perilaku laki-laki (MBCP). Kepada The Guardian, Simon Port, Manajer Layanan Pencegahan Kekerasan di Everyman, Australia bilang, laki-laki yang terlibat dalam kekerasan berbasis gender (KBG) merasa punya hak untuk menyakiti. Mereka percaya perempuan “pantas mendapatkannya”.

Michael Kaufman menyebut ini sebagai triad of men’s violence—pola agresi berlebih yang dipelajari sejak kecil dan ditujukan ke perempuan, ke sesama laki-laki, dan ke diri sendiri. Dalam buku bertajuk The Construction of Masculinity and the Triad of Men’s Violence, kekerasan menjadi mekanisme pertahanan atas ketidakamanan dan luka emosional.
Kristi sendiri menawarkan rehabilitasi pelaku kekerasan sebagai solusi untuk mengatasi kasus KBG. Meski selama ini rehabilitasi belum pernah diterapkan pada pelaku femisida, konseling bagi pelaku sudah seharusnya dilakukan, sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Namun, imbuhnya, hal ini perlu disesuaikan dengan keinginan pelaku untuk berubah. “Ada pelaku yang, seiring waktu, mulai menyadari kesalahannya. Namun ada juga yang ikut program ini tanpa merasa salah sama sekali. Nah, bagi yang seperti itu, menurut saya, ngapain kita buang waktu? Itu enggak efektif,” kata Kristi.
Luka yang Tertinggal: Psikologis dan Ekonomi
Setelah Wardani pergi, hidup Sukarsih berubah total. Hampir setiap malam ia tak bisa tidur. Ia terus terbayang momen-momen kecil bersama Wardani: Saat kepala anaknya minta dielus, atau ketika Wardani makan lahap ikan asin buatan ibunya.
“Dalam bayangan saya ya besok pulang, Lebaran. Iya, masih ada. Dia cuma pergi, bukan pergi selamanya. Cuma lagi merantau aja,” lirih Sukarsih sambil memilin tisu.
Kesedihan Sukarsih belum sempat mereda, ia sudah harus menguatkan cucunya, Rintani, anak Wardani. Rintani kerap membuka folder foto sang ibu, mendengar ulang pesan suaranya, lalu menangis tersedu. Sejak itu, Rintani jadi anak pendiam. Ia mogok sekolah selama tiga bulan dan trauma sosial karena perundungan dari teman.
“Tiga bulanan ada. Kalau sekolah, maunya itu harus diantar jemput. Kadang ditungguin,” imbuh Sukarsih.
Linda pun begitu. Ia adalah anak kesayangan keluarganya. Kematian Linda membuat ibunya, Sinta, sering sesak napas karena menangis saat salat. Ayahnya, “Pramono”, jadi pendiam dan sering melamun. Ketegangan juga muncul dalam keluarga karena ada rasa bersalah—Linda diizinkan merantau setelah sempat dilarang.
Masalahnya, kepergian Wardani bukan hanya luka emosional, tapi juga bencana ekonomi. Sukarsih hanya ibu rumah tangga, Agus adalah buruh serabutan. Wardani-lah yang jadi tulang punggung: Rutin mengirim Rp2 juta per bulan, bahkan memberi Tunjangan Hari Raya (THR) untuk orang tuanya.
Sejak kepergiannya, mereka kesulitan memenuhi kebutuhan harian dan membiayai sekolah Rintani. Kini adik laki-laki Wardani menjadi satu-satunya harapan—meski hanya buruh lepas dengan penghasilan tak menentu.

Baca juga: Bahaya Incel dan Femisida: Percakapan Penting Setelah Nonton ‘Adolescence’
Kekerasan yang Tak Diakui Negara
Meski dampaknya besar, femisida belum diakui negara sebagai kejahatan khusus. Tidak ada data terpilah gender soal pembunuhan terhadap perempuan. Kasus-kasus ini dicatat sebagai pembunuhan biasa.
Menurut Siti Aminah Tardi (Ami), Direktur ILRC dan Komisioner Komnas Perempuan 2019–2024, ketiadaan payung hukum yang holistik membuat aparat penegak hukum hanya berpegangan pada teks undang-undang. Padahal, banyak kekerasan berbasis gender yang menyertai femisida tak pernah jadi pertimbangan hukum.
Di Indonesia, penghilangan nyawa diatur dalam beberapa pasal yang tersebar, yaitu Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) serta Pasal 338, 339, 340, 344, 345, dan 350 dalam KUHP. Namun, meski hukum mengatur pembunuhan, motif, modus, dan KBG yang menyertai kasus tersebut tidak dijadikan faktor pemberat dalam penjatuhan hukuman.
Ami mengkritik penyebaran pasal-pasal dalam undang-undang yang tidak saling terhubung dan tak holistik. Hal ini berpengaruh pada penanganan kasus femisida, terutama terkait bagaimana aparat penegak hukum menangani kasus-kasus tersebut.
“Penyidik dan aparat penegak hukum bekerja berdasarkan teks undang-undang yang ada. Mereka akan melihat teks itu secara harfiah, karena mereka bekerja dengan sistem hukum yang positivis—‘saya harus lihat bunyi undang-undangnya, itu yang saya ikuti.’ Padahal, sebenarnya aparat penegak hukum punya ruang untuk mencari keadilan dari kasus yang mereka hadapi, tanpa harus terjebak pada teks yang ada,” jelas Ami.
Tak hanya di hukum, ketidakpekaan juga muncul di media. Pemantauan Magdalene terhadap tiga media arus utama, Kompas.com, Suara.com, dan Detik.com menunjukkan 56 persen berita femisida membocorkan identitas korban dan keluarganya, dan 95 persen memberitakan femisida sebagai kasus pembunuhan biasa—bukan kekerasan sistemik terhadap perempuan.

Ami menyarankan, negara harus segera mengakui femisida sebagai tindak pidana tersendiri.
“Pertama mengenali dulu femisida itu. Kemudian membangun kesadaran publik… dan barulah kita kepada political will untuk membentuk tindak pidana mandiri,” ucapnya.
Namun, Ami mengakui solusi ini bukanlah hal yang mudah dicapai. Mengingat proses pembuatan undang-undang baru memakan waktu lama, dia menekankan pentingnya memaksimalkan penggunaan aturan yang sudah ada. Namun tetap dengan menambah pemahaman yang lebih mendalam soal femisida.
Misalnya, dalam kasus femisida yang melibatkan kekerasan seksual, Aparat Penegak Hukum (APH) bisa mendorong penerapan UU TPKS, sementara femisida dalam konteks pernikahan bisa diatur melalui UU KDRT.
“Gunakan peraturan yang sudah ada untuk memperkuat penanganan. Pengalaman perempuan harus diakui dan dipertimbangkan dalam penjatuhan putusan serta pemenuhan hak-hak, terutama hak keluarga dan anak korban,” jelas Ami.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak hanya menilai KBG dari naik turunnya angka kekerasan yang tercatat. Angka-angka tersebut seharusnya dilihat sebagai gejala atau tren yang membutuhkan respons cepat dan tepat. Pemerintah harus merespons berbagai bentuk KBG dengan tindakan yang lebih serius.
“Satu korban saja sudah terlalu banyak bagi kemanusiaan kita, kan?” tutup Ami.
Semua nama korban dan keluarga disamarkan.
Kami merilis rangkaian liputan soal femisida selama 4 (empat) minggu dimulai pada 21 April 2025. Tiap minggunya kami akan merilis satu laporan dengan topik berbeda. Nantikan laporan lengkap kami di website Magdalene.co.
Ilustrasi cover artikel oleh Karina Tungari
Tim Proyek Femisida
Pemimpin Redaksi:
Devi Asmarani
Redaktur Pelaksana:
Purnama Ayu Rizky
Editor:
Purnama Ayu Rizky dan Aulia Adam
Penanggung Jawab Proyek:
Jasmine Floretta V.D
Tim Pemantauan Media
Amanda Andina Nugroho, Chika Ramadhea, Jasmine Floretta V.D, Siti Hajar, Syifa Maulida
Reporter/ Periset:
Jasmine Floretta V.D, Syifa Maulida, Ahmad Khudori
Desainer Grafis:
Jelita Rembulan, Della Nurlailanti Putri
Media Sosial:
Sonia Kharisma Putri
Product and Program Development Coordinator:
Siti Parhani
Community Engagement:
Siti Hajar
Analis Data:
Wan Ulfa Nur Zuhra (IDJN)
