Luka Tak Terlihat Para Perempuan Adat

*Peringatan pemicu: kasus kekerasan seksual.
“Ada yang menjerit, menangis, ketakutan bertemu orang, tak mau makan, sebagian mengigau tengah malam.”
Rambu Dai Mami, 43, menceritakan pada saya kondisi kesehatan mental anak-anak dan perempuan adat yang ia tampung di rumahnya, pinggiran Waingapu, Sumba Timur, NTT. Mereka rata-rata adalah korban kekerasan seksual dari orang terdekat. Saat ini totalnya tujuh orang dengan rentang usia beragam, dari 5 tahun hingga 18 tahun.
D, 15, baru tiga minggu tinggal di rumah pribadi Rambu. Saat saya ajak bicara lewat telepon, (21/5), ia bilang, “Berbulan-bulan saya takut keluar rumah, Kak. Saya malu.” Rambu menjemput D dari sebuah desa di pelosok Sumba Timur, melintasi jalan tanah berbatu. D diperkosa sepupu kandungnya yang seorang guru.
D dan perempuan adat di Sumba Timur, biasanya harus merelakan masa depan usai menjadi korban pemerkosaan. Di sana, pemerkosaan memang kerap kali tak dianggap sebagai kejahatan, disangkal, disembunyikan demi nama baik keluarga. Sehingga, itu cukup diselesaikan secara adat atau kekeluargaan. Sebagian korban bahkan dinikahkan dengan pelaku dan menanggung trauma panjang. Namun Rambu menolak langkah-langkah restorative justice macam itu.
“Tak ada mediasi, tak ada negosiasi,” tandasnya.

Kasus D pun demikian. Setelah sempat mandek, Rambu menghubungi teman-teman aktivis dan jurnalis di Kupang. Mereka lantas menghubungi pihak Kepolisian Daerah (Polda) untuk memantau sekaligus menginstruksikan agar Aparat Penegak Hukum (APH) di Kepolisian Resor (Polres) Sumba Timur mengusut kasus korban. Selama pengusutan ini, praktis D jeda dari sekolah. Namun ia berjanji pada dirinya akan lanjut sampai jadi sarjana.
“Saya mau jadi sarjana hukum dan kuliah di Malang, biar bisa bantu memperjuangkan keadilan,” ucapnya.
Semangat D nyatanya menular kepada anak-anak dan perempuan adat korban pemerkosaan yang kini tinggal bersama Rambu. Biasanya sembari duduk mencari kutu bersama di beranda rumah, mereka berbincang-bincang dan saling menguatkan. Sebab, memang itu dukungan psikologis yang mereka punya.
Rambu bilang, minimnya dukungan psikologis telah menjadi salah satu hambatan di Rumah Sabana. Sulis Winurini dalam “Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia” (2023) mengutip data dari laman Ikatan Psikolog Klinis Indonesia soal ini. Menurut catatannya, total psikolog klinis di NTT hanya ada 11 orang dan masing-masing harus melayani 501.218 penduduk per Oktober 2023. Rasio ini masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) idealnya mensyaratkan rasio psikiater dan psikolog klinis dengan jumlah penduduk 1:30.000.
Di daerah tempat tinggal Rambu pun belum ada psikolog klinis atau psikiater yang berjaga di Puskesmas. Barulah pada Maret 2025, ada satu psikiater yang membantu anak-anak dan perempuan korban pemerkosaan berobat gratis. Yang berbayar hanya obat dan vitamin di apotek.
“Sudah dua perempuan yang saya ajak ke sana. Dikasih obat harganya Rp600 ribu biar bisa tidur tenang. Untungnya ongkos dokter digratiskan, lumayan. Kalau bayar sendiri bisa habis jutaan,” ungkap Rambu.
Ia menyayangkan sulitnya perempuan adat korban pemerkosaan untuk mengakses layanan psikososial berkualitas dan terjangkau di fasilitas kesehatan terdekat. Rambu bercerita pernah ditolak berobat di rumah sakit saat menemani korban untuk melakukan pengecekan kesehatan mental dan risiko penyakit menular seksual. Padahal korban sudah mendapat rujukan dari Puskesmas sebelumnya. Alasannya, pasien korban kekerasan seksual, tidak ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Beruntung, saya bisa melobi Wakil Bupati saat itu untuk membantu pembayaran jasa rumah sakit,” tuturnya lagi.

Baca juga: Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba
Budaya Pemerkosaan dan Patriarki yang Berakar
Angka kekerasan seksual yang menyumbang pada gangguan kesehatan mental, relatif tinggi di Sumba Timur. I News mengutip rilis Lembaga Perlindungan Anak Sumba Timur yang menyebutkan, sejak 2017 hingga 2024, lebih dari 380 kasus kekerasan terhadap anak dilaporkan, dengan 73 persen di antaranya adalah kekerasan seksual. Sebagai informasi, data kekerasan kini bisa dipantau secara real time lewat Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Per 21 Mei 2025, sudah ada delapan kasus kekerasan seksual di Sumba Timur yang dilaporkan.
Maraknya kasus kekerasan ini menurut Rambu lahir dari normalisasi ketimpangan dan kekerasan. Banyak perempuan di Sumba yang dipinggirkan sejak lahir sampai meninggal dunia. Mereka tak bisa menentukan tubuhnya sendiri. Ia mencontohkan, dalam urusan melahirkan saja, perempuan tak bebas memutuskan memakai alat kontrasepsi (KB). Jika nekat pakai KB, perempuan rentan dipukul oleh suami.

Mayoritas anak-anak korban kekerasan seksual yang ditampung di Rumah Sabana sendiri, berasal dari keluarga besar dengan banyak saudara. Banyak ibu yang melahirkan lima hingga sembilan anak karena dilarang memakai alat kontrasepsi oleh suaminya. “Suami bilang, banyak anak banyak rejeki. Padahal mereka tidak bisa kasih makan anak-anak itu. Akhirnya anak perempuan dibiarkan begitu saja, tidak diawasi, dan rentan diperkosa,” ujar Rambu.
Kemiskinan struktural memperparah kerentanan ini. Rumah-rumah di desa berdinding bambu, tanpa sekat, membuat anak-anak perempuan mudah menjadi sasaran kekerasan dari orang-orang terdekat. Banyak kasus kekerasan seksual terjadi saat ibu pergi berkebun dan anak ditinggal di rumah dengan kerabat laki-laki. Ketika kekerasan terjadi, korban sering kali tak punya pilihan selain diam, karena laporan mereka bisa berujung pada pengucilan sosial atau bahkan balas dendam.
Rambu telah menangani puluhan kasus seperti itu. Beberapa berhasil dibawa ke polisi, sebagian besar mandek. Pelaku masih bebas berkeliaran di desa, sementara korban tersandera trauma.
“Trauma mereka dalam. Ada yang mengalami kekerasan bergilir oleh orang dekat. Ada juga yang sudah melapor ke polisi, tapi pelaku belum ditahan, sehingga mereka tidak bisa tidur,” katanya.
Baca juga: Pil Pahit Penyintas Kekerasan Mentawai: Apa Pun Kejahatannya, Denda Adat Jawabannya
Perampasan Lahan Memperburuk Kesehatan Mental Perempuan
Dihubungi terpisah, (21/5), Ernina Mawa, 51, menceritakan pada saya masalah kesehatan mental yang juga dialami perempuan adat di Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Nagekeo, NTT. Buat perempuan adat Rendu, tanah bukan sekadar tempat bertani. “Tanah adalah ibu yang melahirkan makanan dan kehidupan,” ujarnya.
Selama puluhan tahun pula, warga termasuk perempuan adat hidup dari mengolah tanah. Namun sejak 2020, ketika pembangunan Waduk Mbay Lambo dimulai, hidup mereka berubah drastis. “Kami semua perempuan di sini rata-rata bertani, tapi kami kehilangan tanah dan kebun. Kalau ke depannya bagaimana cara hidup kami, kan sudah tidak ada tanah. Bagaimana menghidupi tanah yang tersisa?” kata perempuan yang akrab disapa Mama Mince itu.
Ribuan hektare lahan yang dulu subur, tergenang air waduk. Perubahan ini bakal memaksa mereka meninggalkan ladang dan kebun yang menjadi sumber kehidupan, dan beralih menjadi nelayan—profesi yang sama sekali baru. Namun, perubahan pekerjaan ini hanyalah permukaan dari luka tak terlihat lainnya.
“Kami merasakan trauma. Kami lebih sering takut saat berhadapan dengan keamanan,” ungkap Mama Mince.
Ketakutan itu cukup beralasan. Ia pernah diborgol oleh Brimob, dicekik oleh polisi wanita (polwan), dan didatangi sejumlah intel yang mengaku sebagai jurnalis ke rumah dan mewawancarainya. “Saya dipantau banyak orang, tiap kali ada orang besar datang, intel selalu mendatangi saya,” tuturnya.

Ketakutan terus menghantui sehingga Mama Mince dan perempuan lain harus selalu bersama-sama saat pergi ke desa tetangga. Bahkan saat ke pasar pun ia harus berpakaian compang-camping agar tidak dikenali.
“Saking takutnya, kami kemana-mana harus bareng. Pernah di pasar, ada polisi yang foto saya. Anak kecil itu sampai menarik tangan saya sambil bilang, ‘Ayo, Mama kita pulang,’ karena dia lihat muka saya yang pucat,” ceritanya.
Ia mengenang, pada 4 April 2022, aparat merangsek masuk ke rumah-rumah warga di Rendu, lalu menangkap 23 orang, termasuk perempuan, dalam upaya mengamankan jalannya pembangunan waduk. “Kami terus diintimidasi. Yang seperti ini membuat kami merasa tertekan,” kata Mama Mince.
Tekanan mental ini semakin berat karena kekhawatiran Mama Mince terhadap masa depan dua anaknya. “Saya selalu ditekan, diteror, jangan sampai saya depresi,” katanya.
Sejauh ini, ia sekadar mendapatkan dukungan psikologis dan penguatan mental dari komunitas seperti PEREMPUAN AMAN, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Perkumpulan Huma Indonesia (Huma). Hanya saja, imbuhnya, dukungan itu belum cukup untuk memitigasi risiko penyakit mental lebih lanjut saat waduk itu benar-benar difungsikan.
“Kami sangat membutuhkan layanan kesehatan mental karena kami bisa mengalami kelaparan akibat kehilangan lahan pertanian. Sapi dan kerbau kami banyak yang mati. Kalau kebutuhan anak sekolah dan upacara adat kami tidak bisa terpenuhi karena lahan digenangi air, ini bisa menyebabkan gangguan jiwa,” jelasnya.
Baca juga: Di Negara yang Sibuk Membabat Hutan, RUU Masyarakat Adat Akan Dilihat Sebagai Ancaman
Kerentanan Berlapis Perempuan Adat
Kerentanan yang diceritakan Rambu Dai Mami dan Mama Mince dibenarkan Sayyid Muhammad Jundullah, Senior Officer for Health Policy and Community Partnership di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Jundi bilang, (21/5), meskipun belum ada data prevalensi kesehatan mental perempuan adat secara khusus, studi-studi terkait kesehatan jiwa di Indonesia dan global menunjukkan kelompok masyarakat rentan—terutama perempuan di lapisan sosial ekonomi terbawah—berisiko jauh lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental.
Ia mengutip Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang mengungkapkan, tingkat masalah kesehatan jiwa seperti depresi dan gangguan psikosis pada kelompok ekonomi terbawah mencapai 2,5 persen, sedangkan di kelompok ekonomi teratas hanya 1,8 persen. Lebih lanjut, prevalensi masalah kesehatan jiwa pada perempuan secara umum adalah 2,6 persen, hampir dua kali lipat laki-laki yang hanya 1,5 persen.
Faktor kemiskinan, lingkungan sosial yang rentan, rendahnya tingkat pendidikan, serta paparan terhadap konflik menjadi akar kompleks masalah kesehatan mental. “Perempuan adat yang juga menghadapi diskriminasi struktural, perampasan lahan, dan kekerasan seksual, sangat rentan mengalami trauma psikologis berkepanjangan,” ungkapnya dalam pesan suara.
Jundi mengutip data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang menyebut masyarakat adat hampir tiga kali lebih mungkin hidup dalam kemiskinan ekstrem, mengalami marjinalisasi struktural, dan kesulitan mengakses layanan dasar. Belum lagi bayangan kekerasan seksual dan konflik agraria yang mengintai warga. Karena kerentanan inilah, mereka jadi lebih mudah mengalami gangguan kesehatan mental.

Dampak psikologis tersebut tak bisa diremehkan. Ia menerangkan, perempuan adat korban kekerasan seksual berisiko tinggi mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), depresi, dan gangguan kecemasan. Pun demikian, perampasan lahan, membawa tekanan sosial ekonomi dan ketidakpastian hidup yang berkepanjangan. Sayangnya, layanan kesehatan mental yang menyentuh komunitas adat, khususnya perempuan, sangat terbatas.
Data Badan Pusat Statistik 2023 mengindikasikan, akses masyarakat di provinsi terluar, seperti NTT terhadap fasilitas kesehatan dasar hanya sekitar 43,5 persen, Maluku 74,1 persen, Sulawesi Barat 77,18 persen, dan Papua hanya 31,78 persen. Ini belum termasuk layanan kesehatan mental spesifik dan komprehensif, yang hampir tidak tersedia di wilayah tersebut.
Lebih lanjut, meskipun UU Penghapusan Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan tiga tahun lalu dan KemenPPPA menetapkan target satu Unit Pelayanan Terpadu (UPT) penanganan kasus kekerasan di setiap kabupaten/kota, masih ada sekitar 40 persen kabupaten/kota di Indonesia yang belum memiliki layanan ini, termasuk di wilayah adat. Kondisi ini diperparah dengan aturan administratif, seperti persyaratan kolom agama yang sering kali menjadi penghalang bagi masyarakat adat mengakses layanan.
Kendala struktural dan budaya patriarki juga menjadi tantangan besar. Kebijakan dan pengambilan keputusan di tingkat pusat masih didominasi oleh laki-laki, bahkan di lembaga yang fokus pada pemberdayaan perempuan. Misogini dan sikap abai terhadap korban sering ditemukan di berbagai level aparat penegak hukum, sehingga korban kekerasan kerap tidak mendapat perlindungan dan pemulihan yang layak.
Dihubungi pada (21/5), dr. Imran Pambudi, Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan angkat suara. Pihaknya mengakui, negara masih punya keterbatasan dalam hal penyediaan akses fasilitas kesehatan mental di kawasan NTT.
“Kami menargetkan di setiap Puskesmas Pembantu harus ada satu bidan dan satu perawat,” katanya dalam keterangan tertulis. Namun, jumlah psikolog dan tenaga kesehatan perempuan yang tersedia masih sangat terbatas di daerah-daerah dengan komunitas adat yang kental norma budaya dan stigma. Kondisi ini membuat banyak korban enggan mencari pertolongan karena rasa malu dan takut menghadapi stigma sosial.
Selain itu, layanan kesehatan jiwa dasar seperti deteksi dini, konseling awal, dan pengobatan dasar tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.
“Korban kekerasan masuk ke dalam daftar negatif yang tidak dijamin oleh JKN,” jelas dr. Imran.

Karena itulah, Kemenkes kini mengusulkan agar ada alokasi pembiayaan khusus dari pemerintah melalui skema lain, mengingat kesehatan adalah hak yang wajib dipenuhi tanpa memandang status korban. Namun, sampai sekarang jaminan pembiayaan ini belum terealisasi.
Kendala lain yang tak kalah pelik adalah pendekatan layanan yang harus sensitif secara budaya dan trauma-informed. Kemenkes telah mengeluarkan regulasi dan pedoman baru serta melakukan pelatihan tenaga kesehatan, tapi praktik di lapangan masih sulit.
“Kami melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat di daerah untuk mengedukasi masyarakat mencegah kekerasan, terutama praktik budaya yang menimbulkan kekerasan,” tutur dr. Imran.
Sementara itu, ia pun tak menampik, komunitas lokal yang mendampingi korban kerap berjalan sendiri tanpa dukungan sistem kesehatan nasional yang memadai. Kemenkes sendiri mendorong agar tenaga kesehatan berjejaring dan berkoordinasi dengan komunitas lokal, dan Dinas PPA melalui UPTD PPA sebagai koordinator.
Baca juga: #(Re)Formasi1998: Titik Balik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Warga Bantu Warga: Solusi Saat Negara Tak Ada
Sebenarnya, hak atas kesehatan mental perempuan adat dijamin dalam berbagai aturan, baik di dalam negeri maupun tingkat internasional. Di Indonesia, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyebutkan setiap orang berhak atas kesehatan jiwa. Perempuan adat termasuk kelompok rentan yang harus mendapat perhatian khusus jika mengacu pada UU ini.
Sementara di tingkat internasional, Pasal 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) menyamakan pentingnya kesehatan mental dan fisik, dan melalui General Comment No. 14 ditekankan perlunya perlindungan bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat. Lebih lanjut, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) juga menyoroti hak perempuan atas layanan kesehatan, termasuk perempuan adat di wilayah pedesaan, seperti tertuang dalam Pasal 14.
Masalahnya kendati dijamin oleh negara dan hukum internasional, kesehatan mental perempuan adat masih belum cukup memadai, khususnya di NTT. Lantas, apa solusi agar perempuan adat bisa mengakses layanan kesehatan mental di tengah kondisi ini?
Dalam wawancara yang sama, Jundi menekankan pentingnya pendekatan yang inklusif dan berperspektif budaya. Masyarakat adat harus dilibatkan secara aktif dalam merancang dan membangun layanan kesehatan mental yang sensitif budaya,, alih-alih diposisikan sebagai penerima manfaat pasif.
“Pendekatan yang dikontekstualisasi dengan norma dan kearifan lokal dapat menjembatani gap antara layanan formal dan kebutuhan riil perempuan adat,” ungkapnya.
Negara di sisi lain, menurut Jundi, harus hadir secara bermakna dan komprehensif. Namun faktanya ia tak memungkiri, konflik agraria yang melibatkan negara sebagai aktor, justru memicu tekanan berlapis pada perempuan adat, mulai dari penggusuran lahan hingga kriminalisasi. Contoh nyatanya dialami oleh Mama Mince dan perempuan adat di Rendu.
Di saat bersamaan, CISDI mengidentifikasi pola sistemik kelalaian negara terhadap kesehatan mental perempuan adat sebagai bagian dari dominasi politik laki-laki dan oligarki yang menempatkan pembangunan ekonomi di atas hak-hak masyarakat adat.
Karena itulah, salah satu rekomendasi utama CISDI yang tertuang di white paper-nya adalah pengarusutamaan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) secara komprehensif di kementerian-kementerian kunci, bukan hanya di KemenPPPA. Selain itu, keterlibatan aktif perempuan adat dan kelompok rentan lain harus diberi ruang dalam proses perencanaan dan pelaksanaan layanan kesehatan, mulai dari musyawarah desa hingga kebijakan nasional.
Sementara itu, keberadaan rumah aman seperti Sabana di Sumba Timur dianggap sebagai alternatif yang lebih dipercaya korban. Mereka butuh dukungan mengingat kini kapasitasnya sering kewalahan dan tidak semua korban dapat diterima. Di Sabana, rumah panggung kayu Rambu hanya berukuran 6×9 meter, dengan empat kamar saja—satu kamar ditempati khusus oleh dirinya dan suami. Fasilitas yang tersedia pun seadanya.
Di tengah keterbatasan, Rambu mencoba mencicil impian anak-anak korban pemerkosaan di rumah Sabana satu per satu. Ia mencari sumbangan dana, mencari seragam bekas, mengajarkan mereka membuat kerajinan tangan, hingga menyiapkan berkas sekolah agar mereka bisa tetap belajar meski jauh dari rumah asal.
Pada akhirnya, Jundi mengingatkan, perempuan adat menghadapi kerentanan berlapis yang tak hanya terkait gender, tapi juga identitas adat dan bahkan disabilitas. Kerentanan ini memperbesar risiko gangguan kesehatan mental dan menuntut perhatian lebih serius dari publik dan pembuat kebijakan.
“Perempuan adat bukan hanya perempuan, mereka menjalani realitas interseksional dengan tantangan yang kompleks. Ini pesan penting yang harus dipahami oleh publik agar penanganan kesehatan mental bisa dilakukan secara tepat, berkeadilan, dan berkelanjutan,” pungkasnya.
