June 17, 2025
Culture People We Love Prose & Poem

Queer and Palestine: Cara Priscilla Yovia Melawan lewat Bacaan

Lewat proyek membaca Queer and Palestine, Priscilla Yovia Rahmat berusaha menyebarkan kesadaran dan merawat perjuangan melawan ketidakadilan.

  • June 13, 2025
  • 5 min read
  • 476 Views
Queer and Palestine: Cara Priscilla Yovia Melawan lewat Bacaan

Kesadaran tidak selalu datang dari satu momen besar. Kadang ia muncul perlahan, saat seseorang mulai mempertanyakan dunia di sekelilingnya. Bagi Priscilla Yovia Rahmat, 27, momen itu datang ketika ia masih menjadi mahasiswa Universitas Indonesia pada 2017. Di tengah jadwal kuliah yang padat dan dinamika kehidupan kampus, ia memilih bergabung dengan Front Mahasiswa Nasional (FMN), organisasi mahasiswa progresif yang membentuk cara pandangnya terhadap dunia. 

Lewat FMN, Priscilla mulai menyigi lapisan-lapisan ketidakadilan global. Organisasi ini tak hanya bicara teori, tapi juga mengenalkan sistem penindasan seperti imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme birokrat dalam keseharian. Di sinilah ia pertama kali menyelami isu queer dan Palestina, dan memahami bagaimana kolonialisme, rasisme, queerphobia, serta kapitalisme saling menopang untuk melanggengkan penindasan. Kelompok queer Palestina, terutama, kerap disingkirkan dari narasi arus utama. 

Dari sana, keterlibatannya dalam gerakan sosial berkembang cepat. Saat eskalasi kekerasan terhadap rakyat Palestina meningkat drastis pada 2023, Priscilla tak tinggal diam. Ia turun ke jalan, aktif berdiskusi publik, dan bergabung dengan Indonesian Palestine Alliance (Idpal), kolektif yang berdiri di garis depan solidaritas untuk Palestina. Empati pun berubah jadi komitmen jangka panjang. 

Sebagai peneliti dan kandidat PhD di Universitas Leiden, Priscilla merasa perjuangan tak boleh berhenti pada satu individu. Ia ingin menyebarkan kesadaran, menjangkau ruang-ruang yang kerap abai. Maka lahirlah inisiatif Queer and Palestine, proyek membaca yang ia harapkan menjadi jembatan solidaritas antara komunitas queer dan perjuangan rakyat Palestina. 

Foto: Dokumentasi Pribadi Priscilla Yovia Rahmat

Baca Juga: Nh. Dini: Semarang, Perempuan, dan Jejak yang Tak Luruh 

Pintu Masuknya adalah Membaca Buku 

Selain mengikuti perkembangan genosida di media sosial, Priscilla menyadari maraknya diskusi warganet Indonesia soal queer dan Palestina yang sarat queerphobia. Ia menyaksikan bagaimana sebagian orang yang menyuarakan dukungan untuk Palestina, justru menghapus eksistensi kelompok queer di sana. 

“Mereka enggak bener-bener tahu kalau Palestina is a diverse place gitu dan bahkan enggak cuma Muslim atau Kristen aja, tapi queer juga ada,” katanya. 

Menurut Priscilla, pola ini secara tak sadar turut melanggengkan agenda zionisme, yakni pinkwashing—strategi yang menggambarkan Israel sebagai surga LGBTQ untuk membenarkan pendudukannya. 

“Mereka menganggap queer Palestina enggak bisa berekspresi sebagai queer gitu. Enggak punya suara bahkan kalau ketahuan queer, mereka bakal mati. Makanya jadi tidak heran mereka nganggep queer Palestina tidak ada,” imbuhnya. 

Penolakan terhadap eksistensi queer Palestina—bahkan oleh mereka yang menyebut diri pro-Palestina—mendorong Priscilla meluncurkan proyek Queer and Palestine pada pertengahan 2024. Ia mengajak sepuluh peserta lintas usia, latar belakang, dan identitas gender untuk mengikuti program baca intensif selama tujuh minggu. 

Setiap pekan, peserta membaca satu buku bertema Palestina dari sudut pandang gender dan queer—bacaan yang diambil dari kurasi Decolonize Palestine, proyek independen yang digagas dua warga Palestina di Ramallah. Priscilla tak menyangka program ini begitu diminati; dari 91 pendaftar, hanya 10 yang terpilih. 

Pertemuan berlangsung daring tiap Minggu malam. Priscilla memberi beberapa pertanyaan reflektif untuk mengukur pemahaman peserta sebelum diskusi dimulai. Ia memberi ruang bagi peserta untuk mengeksplorasi perspektif, bertanya, dan berdebat secara kritis. 

“Sebagai peneliti aku merasa bahwa pengetahuan yang efektif adalah ketika pengetahuan dikontestasi dengan orang lain dan penting sekali kita mendiskusikannya dengan orang-orang identitas dan realitasnya berbeda dengan kita,” sebutnya. 

Bagi Priscilla, pengetahuan bukan sesuatu yang statis. Ia harus diuji, dikembangkan, dan diperkaya lewat dialog kolektif. 

Foto: Dokumentasi pribadi Priscilla Yovia Rahmat

Baca Juga: Ita Fatia Nadia: Lawan Penghapusan Sejarah Perempuan dan Pelanggaran HAM 

Kita Sama-sama “Terjajah” 

Salah satu momen paling membekas bagi Priscilla terjadi pada minggu ke-5, saat mereka membahas Queer Palestine and the Empire of Critique karya Sa’ed Atshan. Buku ini menyoroti akar kuat gerakan queer dalam feminisme Palestina—dua gerakan yang sama-sama menantang patriarki dan menuntut kendali atas tubuh serta kesetaraan sosial. 

Namun, tak semua feminis Palestina menerima isu LGBTQ+ secara penuh. Beberapa lebih fokus pada hak-hak perempuan dalam kerangka nasionalisme, dan melihat gerakan queer sebagai isu sekunder. Diskusi pun berkembang, khususnya di antara peserta queer yang melihat kesamaan pengalaman mereka dengan queer Palestina. 

Queer di Palestina dan Indonesia sama-sama ditekan oleh norma heteronormatif dan patriarkal. Mereka kerap dianggap sebagai ancaman terhadap nilai budaya atau agama, dan diposisikan sebagai “lain” oleh masyarakat maupun negara. 

Both Palestine and Indonesia mayoritas Muslim. Realitas di kehidupan sehari-hari, identitas mereka diinvalidasi. Mereka menghadapi kekerasan dan diskriminasi sosial cause homofobia and patriarchy are exist,” jelas Priscilla. 

Kesamaan ini, menurutnya, memperkuat kesadaran bahwa kita semua hidup di bawah sistem opresif yang saling terhubung. Adagium “no one is free until everyone is free” pun menjadi nyata—bukan sekadar kutipan, melainkan semangat pembebasan kolektif. 

Baca Juga: Dari Kompos ke Komunitas: Perempuan Petani Kota Menanam Harapan di Tengah Beton

Kini, proyek Queer and Palestine telah selesai. Namun perjuangan Priscilla jauh dari kata usai. Ia tengah merancang klub buku baru yang membahas ide-ide progresif secara umum, termasuk perjuangan global seperti Palestina. Harapannya, klub ini bisa jadi ruang belajar bersama dan merawat semangat kolektif melawan sistem opresi yang saling terkait. 

Bagi Priscilla, meski dunia terasa distopik, selama kita tak berhenti bertindak, sekecil apa pun usaha itu, selalu ada harapan untuk pembebasan semua orang. 



#waveforequality
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.