June 14, 2025
Culture Opini Screen Raves

‘Pengepungan di Bukit Duri’: Ada Kritik Atas Heteronormativitas dan Peran Ayah yang Gagal

Selain musik, gambar, dan aksi brutal, coba perhatikan bagaimana sosok “ayah” tiap kali lewat dan dibicarakan—atau diperlakukan—di film ini.

  • April 21, 2025
  • 4 min read
  • 7544 Views
‘Pengepungan di Bukit Duri’: Ada Kritik Atas Heteronormativitas dan Peran Ayah yang Gagal

Dalam film terbarunya, Pengepungan di Bukit Duri (2025), Joko Anwar memperluas semestanya yang murung dan penuh trauma dengan membingkai cerita personal dalam lanskap sosial-politik yang membusuk. Lewat pendekatan alegoris dan gaya visual distopianya, film ini menyentuh luka kolektif yang masih berdenyut, sambil tetap menyimpan intensitas emosional khas Joko: Mengamati dunia dari kacamata mereka yang ditinggalkan.

Edwin (Morgan Oey), salah satu penyintas kerusuhan rasial yang terjadi pada tahun 2009 —sebuah kejadian fiksi, tapi kentara merujuk Tragedi Mei 1998— kembali ke kota untuk mencari keponakan yang tak pernah dikenalnya. Ia menjadi guru di sebuah SMA penuh murid-murid dengan perilaku kekerasan, di sebuah wilayah di “Timur”, penamaan arah mata angin yang konsisten dipakai Joko menyebut daerah dalam filmnya, alih-alih penanda geografis konkret seperti nama kota atau negara.

Baca juga: Menjadi Cina Antara Mei 1998 dan 2019

Referensi dari Tragedi 1998

Keponakan itu adalah anak dari kakak perempuannya, yang mengalami perkosaan saat kerusuhan berlangsung. Kakaknya meninggal akibat pneumonia akut beberapa tahun sebelum latar waktu “sekarang” dalam film, yaitu tahun 2027. Sebelum meninggal, sang kakak hanya sempat berpesan bahwa anaknya kini bersekolah di salah satu SMA di Timur.

Di sekolah tersebut, Edwin tidak hanya dihadapkan pada kekerasan antar-murid, tetapi juga menjumpai sekelompok remaja yang dipimpin oleh Jefri (Omara Esteghlal), yang menyimpan kebencian tak beralasan terhadap warga keturunan Tionghoa. Kebencian yang tidak lahir dari pengalaman langsung, melainkan dari narasi turun-temurun, bisik-bisik komunitas, dan warisan dendam kolektif.

Estetika film ini menyangkal segala bentuk glamorisasi masa depan yang futuristik. Kota dalam Pengepungan di Bukit Duri diperlihatkan sebagai tempat yang macet oleh luka, hukum yang tidak berfungsi, dan kekerasan yang mengendap di jalanan. Dunia ini adalah distopia tanpa teknologi canggih, tanpa pencerahan, tanpa progres.

Sinematografi garapan Jaisal Tanjung menghadirkan tekstur visual gritty dan organik: Kamera handheld yang gelisah, pencahayaan kontras tinggi yang menciptakan suasana suram, dan palet warna keabu-abuan yang seolah menguapkan harapan dari layar. 

Dalam lanskap ini, masa depan bukanlah sesuatu yang dituju, melainkan sesuatu yang harus ditahan. Atmosfer ini kian diperkuat musik dari Aghi Narotama. Dengan pendekatan grunge dan desain suara yang abrasif, suara menjadi perpanjangan dari frustrasi dan kekacauan batin para karakternya. Ketukan drum kasar dan distorsi gitar bukan hanya latar emosi, tapi narasi tersendiri: Ini adalah dunia yang dipenuhi teriakan yang tidak didengar.

Baca juga: Menjadi Cina di Indonesia: Luka Kami Masih Basah

Ayah yang Absen, Sistem yang Mandul

Seperti banyak karya Joko lainnya, masalah dalam Pengepungan di Bukit Duri berakar dari keluarga disfungsional, tempat trauma menjadi warisan utama. Tapi kali ini, alih-alih disampaikan dalam bentuk metafora mistis atau fabel superhero, luka itu dihadirkan dalam dunia yang sangat kasatmata: dunia di mana anak-anak belajar membenci.

Dalam Pengabdi Setan, horor lahir dari rumah yang kehilangan figur ibu. Di Gundala, kekerasan politik bersinggungan dengan pengkhianatan orang tua. Di Perempuan Tanah Jahanam, kekerasan struktural dilestarikan oleh keluarga sendiri—mereka yang pegang kuasa lebih. Di film ini, Joko menyasar sosok ayah, bukan sebagai karakter, tapi sebagai absensi yang melahirkan kebencian.

Hampir semua karakter remaja berandal dalam film adalah korban dari ayah yang hadir hanya secara biologis, figur yang tak pernah benar-benar ada untuk membesarkan atau mencintai. 

Mayoritas sosok ayah tidak pernah ditampilkan secara visual dalam film; penonton hanya mengenal mereka lewat celotehan ringan para remaja saat mereka sedang melakukan kekerasan: Komentar-komentar spontan yang menyiratkan kebencian terhadap ayah masing-masing. Ada yang menyebut ayahnya seorang koruptor yang rajin menyumbang ke masjid demi citra, ada pula yang mengeluh soal ayah yang terus abai sejak kecil. Mereka adalah anak-anak dari proyek reproduksi sosial yang gagal: Dibentuk untuk membenci, tapi tidak pernah diajari mencintai.

Sosok ayah dalam film ini bukan hanya absen, tapi juga simbol dari sistem yang gagal: Sistem heteronormatif-patriarkal yang mengasumsikan bahwa memiliki anak adalah hal “normal,” tapi gagal memastikan bahwa anak itu akan tumbuh dalam perhatian dan cinta. 

Joko seolah menyatakan bahwa “ayah” bukan hanya individu, tapi institusi: Sistem sosial yang tidak pernah hadir untuk menjawab trauma.

Baca juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia

Referensi ke Tragedi 1998, yang spesifik memotret rasisme pada etnis Cina-Indonesia—meskipun dikisahkan dalam tahun fiksi, 2009—diperlihatkan sebagai luka yang tak pernah benar-benar diakui. 

Warga keturunan Tionghoa dalam film ini (disebut secara derogatif sebagai “Cina”) menjadi korban dari kekerasan yang tidak hanya fisik, tapi juga struktural dan simbolik. Film ini dengan tajam menunjukkan bahwa warisan kekerasan itu diteruskan dari generasi ke generasi—bukan hanya oleh negara, tapi juga oleh keluarga.

Pengepungan di Bukit Duri adalah kisah tentang pencarian. Bukan hanya mencari seorang anggota keluarga yang tak pernah dikenali, tapi mencari alasan mengapa dunia ini begitu penuh kebencian. Di tengah karut-marut kerusuhan kota, Edwin bukan pahlawan, tapi saksi dari kegagalan kolektif yang meluas dari rumah ke jalanan.

Pun Joko tidak menyalahkan anak-anak yang membenci, ia hanya menunjukkan dari mana kebencian itu berasal.



#waveforequality
About Author

Catra Wardhana

Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply