June 15, 2025
Issues

Omon-Omon Swasembada Pangan Presiden: Banyak Janji, Minim Petani

Di balik ambisi swasembada pangan, energi, dan air yang digaungkan Presiden Prabowo, ada cerita-cerita yang luput dari sorotan: konflik lahan, ketimpangan akses, hingga peran aparat yang makin dominan.

  • April 21, 2025
  • 5 min read
  • 3448 Views
Omon-Omon Swasembada Pangan Presiden: Banyak Janji, Minim Petani

Dengan gaya santai dan penuh percaya diri, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan refleksi 130 hari masa kerjanya kepada tujuh jurnalis senior awal April 2025. Dari banyak jargon yang ia ulang-ulang, “swasembada” dan “makan bergizi gratis” adalah dua yang paling sering terdengar.

“Saya merasa bahwa pembangunan Indonesia, itu kuncinya adalah landasan yang paling kokoh yaitu swasembada pangan, swasembada energi, dan swasembada air,” ujarnya kepada para jurnalis tersebut, seperti dikutip banyak media.

Namun, di balik narasi besar itu, bagaimana nasib petani dan masyarakat adat yang seharusnya jadi aktor utama swasembada?

Baca juga: Meski Gagal Terus, Prabowo Tidak Kapok Bikin ‘Food Estate’, Kenapa?

Program swasembada vs. SDGs

Secara teori, swasembada pangan, energi, dan air yang digembar-gemborkan Presiden Prabowo sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Ada SDG 2 (Tanpa Kelaparan), SDG 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), serta SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak). Masing-masing menekankan keberlanjutan dan keadilan dalam akses sumber daya.

Tapi praktiknya jauh panggang dari api.

Salah satu yang paling mencolok adalah rencana pemerintah mengubah 26,7 juta hektare hutan yang dianggap ‘gundul’ jadi cadangan pangan dan energi. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sendiri menyampaikan ini pada Februari lalu. Alih-alih memulihkan hutan, pendekatan ini malah menegaskan eksploitasi lahan dengan dalih ketahanan nasional. Pendekatan ini mengabaikan prinsip keberlanjutan ekologis dan berpotensi melanggengkan paradigma eksploitasi sumber daya alam atas nama swasembada, dibandingkan mengedepankan konservasi dan pemulihan lingkungan.

Mongabay Indonesia melaporkan pada awal April 2025 bahwa di Desa Iwul, Kabupaten Bogor, warga kini menghadapi ancaman kehilangan lahan pertanian demi proyek pembangunan perumahan dan industri. Padahal, di lahan itulah mereka selama ini bertani dan menjaga area resapan air. Lucunya, mereka yang diminta mendukung swasembada justru jadi korban proyeknya sendiri.

Cerita serupa juga terjadi jauh di Papua Selatan. Program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian di Merauke memantik konflik di masyarakat adat. Laporan BBC Indonesia pada Maret 2025 menunjukkan bahwa marga Kwipalo dari Suku Yei harus berjuang melawan tekanan untuk melepaskan tanah ulayat mereka demi proyek cetak sawah dan kebun tebu. Penolakan mereka memicu intimidasi hingga ketegangan antar-suku. Hasilnya? Mereka kehilangan tanah, air bersih, dan sumber kehidupan.

Baca juga: Penting Untuk Semua Orang, Pengesahan RUU Masyarakat Adat Tidak Bisa Ditunda Lagi

Swasembada ala aparat: Ketika Babinsa turun ke ladang

Pemerintahan Prabowo sepertinya percaya bahwa swasembada lebih mudah dicapai jika aparat terlibat langsung. Peraturan Presiden No. 5/2025 memberikan mandat kepada Menteri Pertahanan (bukan Menteri Kehutanan) untuk menertibkan kawasan hutan. Dalam struktur ini, Panglima TNI, Kapolri, hingga Jaksa Agung duduk di posisi strategis, sementara Menteri Kehutanan hanya anggota biasa.

Tidak lama setelah itu, TNI dan Kementerian Kehutanan menandatangani nota kesepahaman, seperti diumumkan dalam siaran pers Kementerian Kehutanan pada 12 Februari 2025. Tujuannya mengerahkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) untuk “menjaga kelestarian hutan.” Tapi dari narasi yang berkembang, lebih terasa semangat ekspansi proyek ketimbang konservasi.

Masuklah PT Agrinas Palma Nusantara, BUMN baru hasil rebranding dari PT Indra Karya. Kini ditugaskan mengelola energi bersih berbasis sawit, Agrinas mengisi jajaran direksi dengan purnawirawan jenderal, seperti Agus Sutomo dan Wisnoe Prasetja Boedi. Dukungan militer pun diberikan lewat Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), yang aktif menyita lahan sawit ilegal. Tapi anehnya, lahan yang disita justru dipakai lagi untuk komoditas, bukan dikembalikan jadi hutan.

Tak mau kalah, Polri juga ikut mengelola lahan. Program penanaman jagung seluas 1,7 juta hektare diluncurkan Januari lalu oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit. Namun hasilnya tidak menggembirakan. Di Jayapura, petani mengeluh karena jagung gagal panen. Tanaman kering, menguning, atau malah tergenang banjir. Banyak dari mereka pun lebih akrab dengan sayuran, bukan jagung.

Ini menegaskan bahwa keberhasilan swasembada tak cukup dengan niat baik atau pendekatan militeristik. Harus ada pemahaman kontekstual dan dukungan nyata untuk petani.

Baca juga: Anggaran Pendidikan dan Riset Dibabat Habis, Mimpi Negara Maju Cuma ‘Omon-omon’

Swasembada butuh investasi, bukan intimidasi

Studi oleh E. Metelkova dan tim dalam artikel State Support for the Production of Cattle Meat: The Experience of Countries with High Levels of Self-Sufficiency (2019) menunjukkan bahwa negara-negara seperti anggota Uni Eropa dan Kanada berhasil mencapai swasembada berkat dukungan menyeluruh, mulai dari subsidi yang tepat sasaran, riset pertanian, hingga pendampingan untuk petani pemula. Mereka juga fokus mengembangkan kualitas bibit, berinvestasi dalam riset, serta memodernisasi teknologi pertanian. Uni Eropa, Tiongkok, dan Kanada bahkan merancang skema subsidi yang selektif dan berorientasi jangka panjang, dengan tujuan membangun industri peternakan yang berkelanjutan dan tahan banting.

Studi lain oleh Agnieszka Baer-Nawrocka di tahun yang sama menyoroti bahwa kunci swasembada pangan yang berkelanjutan terletak pada sinergi antara kondisi alam dan intervensi manusia. Produksi pangan tidak bisa dilepaskan dari infrastruktur irigasi yang memadai, teknologi pertanian yang ramah lingkungan, serta edukasi bagi petani, terutama petani kecil dan kelompok rentan. Tak ada peran militer di ladang, apalagi penggusuran masyarakat adat.

Rujukan-rujukan ini dengan jelas menunjukkan bahwa mencapai swasembada tak perlu merusak hutan, mengorbankan keanekaragaman hayati, atau menggusur tanah ulayat. Sebaliknya, jalan yang adil dan berkelanjutan justru membutuhkan investasi pada teknologi hijau, penguatan kapasitas petani lokal, dan kebijakan yang berpihak pada kedaulatan pangan.

Swasembada bukan soal pendekatan represif, tapi soal pemberdayaan. Program ini harus melibatkan masyarakat, menghormati hak agraria, dan membangun kolaborasi nyata antara negara dan komunitas untuk memastikan ketahanan pangan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan korporasi atau segelintir elit.

Mickhael Rajagukguk bekerja sebagai Research and Advocacy Communication Specialist di salah satu LSM yang berfokus pada isu lingkungan dan transisi energi. Ia sangat menggemari isu-isu yang berkaitan dengan politik, media, pendidikan, dan kebijakan.



#waveforequality
About Author

Mickhael Rajagukguk

Leave a Reply